Tuesday, July 3, 2012

Kenangan | satu sisi lain

Terkadang aku ingin tahu seperti apakah bentuk kenangan itu. Apakah dia serupa kabut yang berpusar di atas kepala? Atau mungkin seperti kilasan adegan yang muncul saat kita berkedip? Atau mungkin juga mirip dengan tiupan ringan angin yang membawa haru ke lubuk hati. Tapi buatku, kenangan itu berbentuk seperti foto-foto candid dramatis yang diambil dari sudut yang tak terpikirkan, dan menangkap ekspresi dan rasa yang khusus.



Kereta api tanpa pintu. Desir angin dan gema suara roda yang melaju di atas rel saat kereta itu melewati jembatan tinggi.

Lelaki berbaju belang menutup pintu mobil dengan terlalu keras. Ekspresinya menjijikkan. Aku benci.

Dunia yang gelap dan hening, bintang di langit dan lampu yang tampak dari atas bukit. Karena satu dan lain hal aku tidak bisa tidur. Terus dan terus saja melihat ke luar jendela.

Bau air asin dan teh panas. Sendang Biru di malam hari dan kita, berdua belas, meringkuk di atas tenda yang tak didirikan.

Sendang Biru di pagi hari, aku berdiri di ujung dermaga yang miring separuh, retak dan runtuh di satu sisi, sambil memandang langit dan menunggu terang datang.

Kapal-kapal baru yang belum dicat, kayu coklatnyanya melengkung dan haluannya tinggi di atas kepala. Aku belum pernah melihat kapal baru dibuat.

Perahu nomor satu melaju. Aku tak pernah puas memandangi laut, karang, dan bakau itu.

Perjalanan penuh pertemuan yang tidak kuingat. Rasanya sungguh sebentar. Bertemu berbagai macam orang yang datang dan pergi. Tanah yang kering ini, dulu waktu kulewati sangat becek.

Kubis dan ubi dari tetangga yang sedang berkemas. Berteman tanpa berkenalan, bertemu hanya sekejap. Selalu begitu, karena kita semua saudara. Ya kan?

Segara Anakan sedang surut. Matahari bersinar terik. Gerah dan panas nyaris tak tertahankan. Kita duduk di bawah karang sampai air mulai pasang. 

Aku mual. Tolak angin. Dan aku lupa bilang terima kasih.

Bulan cembung bersinar terang. Tanpa senter pun aku bisa berjalan dengan mudah. Suara ombak semakin keras, dan kita, berdua belas, duduk di atas beberan ponco. Makan malam. 

Api unggun dengan dahan melengkung seperti bulan sabit yang terbakar. Kentang-kentang dalam aluminium foil dilemparkan ke dalamnya. Asapnya pedih di mata, tapi hangat dan nyala oranyenya terasa nyaman.

Tidur yang terasa panjang. Suara gitar dan nyanyian di luar tenda, dan siluet api unggun tetangga yang masih menyala. Angin dingin berhembus dari celah tenda yang tidak ditutup rapat.

Langit cerah dan bintang bersinar. Hujan rintik-rintik baru saja lewat. Meninggalkan panik dan doa semoga hujan tak datang lagi.

Kita duduk di pinggir pantai di pagi yang sejuk. Langit tampak dramatis. Air laut mulai pasang dengan cepat dan kita berlarian ke tempat yang lebih tinggi.

Sarapan bertema pasta. Lalu tenda dirubuhkan dan barang dikemasi. Hari ini kita akan pulang.

Foto-foto untuk terakhir kalinya.

Dan perjalanan pulang yang melelahkan.


Tiga hari itu terasa seakan seminggu. Hidup rasanya begitu penuh. Ketika sekarang aku sudah di rumah, hari-hari itu terasa jauh. Tinggal bayangan-bayangan yang sesekali datang. Kapan kita akan berjalan lagi, kawan? Aku sudah tidak sabar.




reblog fromKenangan | satu sisi lain

No comments:

Post a Comment